Implikasi Aplikasi Psikologi Positif dalam Pendidikan |
A. Sekilas tentang Psikologi Positif
Psikologi Positif adalah cabang psikologi terbaru yang muncul pada tahun 1998. Martin Seligman sebagai Presiden American Psychological Assosiation (APA) memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya melalui metode-metode praktis yang dirumuskannya.
Seligman and Csikszentmihalyi (Farah Aulia, 2015) mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah tentang fungsi manusia yang positif dan berkembang pada beberapa tingkat yang mencakup biologi, personal, relasional, kelembagaan, budaya, dan dimensi global hidup. Tujuannya adalah mengidentifikasi dan meningkatkan kekuatan dan kebajikan manusia yang membuatnya dapat hidup dengan layak dan memungkinkan individu dan masyarakat untuk berkembang. Psikologi positif bermaksud untuk menginisiasi perubahan dalam psikologi sebagai ilmu sosial, perubahan yang dapat menyebabkan reorientasi dan peralihan dari secara ekslusif hanya sibuk untuk memperbaiki kondisi yang sakit/buruk dalam hidup, menuju pengembangan kualitas yang terbaik dalam hidup.
Psikologi positif memiliki tiga pilar utama yaitu: Pertama, pengalaman hidup yang positif pada individu dengan mengeksplorasi emosi-emosi positif. Pilar kedua adalah properti fisik yang positif dari individu, menggali trait kepribadian positif, bakat dan kekuatan individu. Pilar ketiga adalah adalah masyarakat yang positif, menggali institusi sosial yang positif, seperti demokrasi, keluarga yang kuat dan pendidikan yang mendorong perkembangan yang positif
Psikologi Positif mempelajari tentang kekuatan dan kebajikan yang bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi berhasil dalam hidup atau meraih tujuan hidupnya. Pusat perhatian utama dari cabang psikologi positif ini adalah sisi-positif manusia. Menurut psikologi positif, manusia itu mempunyai ide-ide berupa kemampuan untuk memilih, kehendak yang bebas, preferensi, keberanian, spritualitas, kebijaksanaan, keutuhan, dan keadilan. Jika potensi ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya akan mendatangkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dilihat dari sejarahnya, Psikologi Positif berakar pada mazhab atau aliran Psikologi Humanistik. Abraham Maslow, Carl Rogers dan Erich Fromm, adalah para tokoh psikologi humanis yang telah dengan gemilang mengembangkan penelitian, praktek dan teori tentang kebahagiaan atau kehidupan individu yang positif. Upaya ini kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para ahli dan praktisi Psikologi Positif untuk terus mencari fakta empirik dan fenomena baru untuk mengukuhkan hasil kerja para psikolog humanis. Psikologi positif menekankan pada penelitian:
Psikologi Positif adalah cabang psikologi terbaru yang muncul pada tahun 1998. Martin Seligman sebagai Presiden American Psychological Assosiation (APA) memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya melalui metode-metode praktis yang dirumuskannya.
Seligman and Csikszentmihalyi (Farah Aulia, 2015) mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah tentang fungsi manusia yang positif dan berkembang pada beberapa tingkat yang mencakup biologi, personal, relasional, kelembagaan, budaya, dan dimensi global hidup. Tujuannya adalah mengidentifikasi dan meningkatkan kekuatan dan kebajikan manusia yang membuatnya dapat hidup dengan layak dan memungkinkan individu dan masyarakat untuk berkembang. Psikologi positif bermaksud untuk menginisiasi perubahan dalam psikologi sebagai ilmu sosial, perubahan yang dapat menyebabkan reorientasi dan peralihan dari secara ekslusif hanya sibuk untuk memperbaiki kondisi yang sakit/buruk dalam hidup, menuju pengembangan kualitas yang terbaik dalam hidup.
Psikologi positif memiliki tiga pilar utama yaitu: Pertama, pengalaman hidup yang positif pada individu dengan mengeksplorasi emosi-emosi positif. Pilar kedua adalah properti fisik yang positif dari individu, menggali trait kepribadian positif, bakat dan kekuatan individu. Pilar ketiga adalah adalah masyarakat yang positif, menggali institusi sosial yang positif, seperti demokrasi, keluarga yang kuat dan pendidikan yang mendorong perkembangan yang positif
Psikologi Positif mempelajari tentang kekuatan dan kebajikan yang bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi berhasil dalam hidup atau meraih tujuan hidupnya. Pusat perhatian utama dari cabang psikologi positif ini adalah sisi-positif manusia. Menurut psikologi positif, manusia itu mempunyai ide-ide berupa kemampuan untuk memilih, kehendak yang bebas, preferensi, keberanian, spritualitas, kebijaksanaan, keutuhan, dan keadilan. Jika potensi ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya akan mendatangkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dilihat dari sejarahnya, Psikologi Positif berakar pada mazhab atau aliran Psikologi Humanistik. Abraham Maslow, Carl Rogers dan Erich Fromm, adalah para tokoh psikologi humanis yang telah dengan gemilang mengembangkan penelitian, praktek dan teori tentang kebahagiaan atau kehidupan individu yang positif. Upaya ini kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh para ahli dan praktisi Psikologi Positif untuk terus mencari fakta empirik dan fenomena baru untuk mengukuhkan hasil kerja para psikolog humanis. Psikologi positif menekankan pada penelitian:
- Banyak orang yang berkembang dan bertahan hidup di dalam cara-cara yang kreatif.
- Resilience: bangun kembali setelah terjatuh.
- Mampu memulihkan diri.
- Life takes on new meaning and focus.
- Penelitian mengenai kekuatan dan resiliensi dengan menggunakan metode ilmiah.
- Apa yang membuat hidup semakin hidup. (Danang Setyo Budi Baskoro)
Sebagai pendekatan psikologi yang relatif baru berkembang, beberapa isu yang banyak dibicarakan dalam psikologi positif adalah kesejahteraan (well being), harapan (hope), optimisme, kepuasan hidup, keterikatan (engagement), perilaku prososial, konsep diri positif, rasa syukur (gratitude), efikasi diri dan lainnya.
B. Aplilkasi Psikologi Positif dalam Pendidikan
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku individu, sejak lama telah diakui sebagai salah satu landasan pendidikan. Banyak teori dan praktik pendidikan yang dihasilkan dan bersumber dari psikologi, terutama berkenaan dengan psikologi perkembangan dan psikologi belajar (lihat: Landasan Kurikulum, Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan)
Psikologi Positif sebagai cabang baru dalam psikologi, saat ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan teoritisi dan praktisi, baik dalam bidang psikologi itu sendiri maupun bidang pendidikan tentang berbagai kemungkinan untuk menerapkan Psikologi Positif dalam dunia pendidikan, sehingga belakangan ini muncullah gagasan dan konsep tentang Pendidikan Positif (Possitive Education), yakni sebuah pendekatan pendidikan yang menitik-beratkan pada kekuatan dan motivasi pribadi untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. (Wikipedia).
Farah Aulia (2015) dalam makalahnya yang berjudul: “Aplikasi Psikologi Positif dalam Konteks Sekolah” mengetengahkan tentang : (1) Pentingnya optimisme dalam konteks akademik. Guru perlu optmisme di kalangan siswanya. Guru perlu memiliki pengalaman yang mendukung pengembangan dan pemeliharaan optimisme. Guru sendiri perlu memiliki pandangan positif terhadap dirinya sendiri dan menggunakan teknik yang menggunakan pendekatan yang positif untuk mengelola perilaku di kelas. Guru secara umum dapat mendorong optimisme siswa dengan memberikan atribusi terkait dengan keberhasilan-keberhasilan atau kegagalan-kegagalan yang dialami siswa di kelas. Guru juga dapat mengajarkan siswa untuk mengatasi masalah dan mencari alternative pemecahan masalah. Guru sendiri harus memberikan contoh tentang bagaimana menghadapi masalah sehingga siswa pun belajar tentang mengatasi masalah dan bukan menyerah saat menghadapi masalah. Memberikan umpan balik yang realistis juga menjadi hal yang penting yang perlu dilakukan guru untuk mengembangkan optimisme siswa; (2) Menggali kekuatan karakter siswa di sekolah, sekolah perlu menggali karakter-karakter positif dari siswa sebagaimana juga menggali kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Selain itu, sekolah sendiri harus memiliki budaya yang memang menghargai karakter yang positif yang ditampilkan oleh keseluruhan elemen yang ada di sekolah; (3) Menumbuhkan keterikatan siswa dan lingkungan belajar yang optimal. Keterikatan siswa dengan sekolah menjadi hal yang penting bagi proses belajar yang optimal. Untuk membuat siswa terikat dengan sekolah maka ia harus memiliki persepsi yang positif tentang sekolah itu sendiri. Persepsi yang positif ini dapat terbentuk dari pengalaman belajar yang menyenangkan di sekolah. Usaha yang dilakukan oleh guru dalam hal ini adalah meningkatkan kompetensinya untuk dapat membuat format pembelajaran yang menyenangkan dan menantang serta membangun hubungan yang positif dengan siswa itu sendiri.
Sementara itu, berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, Husni Abdillah (2012) mengupas tentang Implikasi Psikologi Positif dalam Layanan Bimbingan dan Konseling Karakter. Dikatakannya, bahwa dalam perspektif psikologi positif konselor disarankan untuk memberikan layanan yang lebih menyeluruh, dan mengembangkan kekuatan karakter yang dimilki agar dapat mengembangkan lingkungan belajar yang lebih sehat, dan siswa dapat mengembangkan nilai karakter yang berguna bagi peningkatan prestasi. Dengan berbasis psikologi positif, program konseling akan lebih banyak berorentasi pada pengembangan dan pencegahan, tidak terlalu fokus dengan mengobati masalah, layanan bimbingan konseling akan lebih banyak mencoba menganalisis potensi terbaik untuk digunakan mengembangkan perilaku yang baik, bukan menganalisis perilaku yang bermasalah kemudian ditangani.
B. Aplilkasi Psikologi Positif dalam Pendidikan
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku individu, sejak lama telah diakui sebagai salah satu landasan pendidikan. Banyak teori dan praktik pendidikan yang dihasilkan dan bersumber dari psikologi, terutama berkenaan dengan psikologi perkembangan dan psikologi belajar (lihat: Landasan Kurikulum, Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan)
Psikologi Positif sebagai cabang baru dalam psikologi, saat ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan teoritisi dan praktisi, baik dalam bidang psikologi itu sendiri maupun bidang pendidikan tentang berbagai kemungkinan untuk menerapkan Psikologi Positif dalam dunia pendidikan, sehingga belakangan ini muncullah gagasan dan konsep tentang Pendidikan Positif (Possitive Education), yakni sebuah pendekatan pendidikan yang menitik-beratkan pada kekuatan dan motivasi pribadi untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. (Wikipedia).
Farah Aulia (2015) dalam makalahnya yang berjudul: “Aplikasi Psikologi Positif dalam Konteks Sekolah” mengetengahkan tentang : (1) Pentingnya optimisme dalam konteks akademik. Guru perlu optmisme di kalangan siswanya. Guru perlu memiliki pengalaman yang mendukung pengembangan dan pemeliharaan optimisme. Guru sendiri perlu memiliki pandangan positif terhadap dirinya sendiri dan menggunakan teknik yang menggunakan pendekatan yang positif untuk mengelola perilaku di kelas. Guru secara umum dapat mendorong optimisme siswa dengan memberikan atribusi terkait dengan keberhasilan-keberhasilan atau kegagalan-kegagalan yang dialami siswa di kelas. Guru juga dapat mengajarkan siswa untuk mengatasi masalah dan mencari alternative pemecahan masalah. Guru sendiri harus memberikan contoh tentang bagaimana menghadapi masalah sehingga siswa pun belajar tentang mengatasi masalah dan bukan menyerah saat menghadapi masalah. Memberikan umpan balik yang realistis juga menjadi hal yang penting yang perlu dilakukan guru untuk mengembangkan optimisme siswa; (2) Menggali kekuatan karakter siswa di sekolah, sekolah perlu menggali karakter-karakter positif dari siswa sebagaimana juga menggali kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Selain itu, sekolah sendiri harus memiliki budaya yang memang menghargai karakter yang positif yang ditampilkan oleh keseluruhan elemen yang ada di sekolah; (3) Menumbuhkan keterikatan siswa dan lingkungan belajar yang optimal. Keterikatan siswa dengan sekolah menjadi hal yang penting bagi proses belajar yang optimal. Untuk membuat siswa terikat dengan sekolah maka ia harus memiliki persepsi yang positif tentang sekolah itu sendiri. Persepsi yang positif ini dapat terbentuk dari pengalaman belajar yang menyenangkan di sekolah. Usaha yang dilakukan oleh guru dalam hal ini adalah meningkatkan kompetensinya untuk dapat membuat format pembelajaran yang menyenangkan dan menantang serta membangun hubungan yang positif dengan siswa itu sendiri.
Sementara itu, berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, Husni Abdillah (2012) mengupas tentang Implikasi Psikologi Positif dalam Layanan Bimbingan dan Konseling Karakter. Dikatakannya, bahwa dalam perspektif psikologi positif konselor disarankan untuk memberikan layanan yang lebih menyeluruh, dan mengembangkan kekuatan karakter yang dimilki agar dapat mengembangkan lingkungan belajar yang lebih sehat, dan siswa dapat mengembangkan nilai karakter yang berguna bagi peningkatan prestasi. Dengan berbasis psikologi positif, program konseling akan lebih banyak berorentasi pada pengembangan dan pencegahan, tidak terlalu fokus dengan mengobati masalah, layanan bimbingan konseling akan lebih banyak mencoba menganalisis potensi terbaik untuk digunakan mengembangkan perilaku yang baik, bukan menganalisis perilaku yang bermasalah kemudian ditangani.
Unduh :
0 comments: